Jumat, 07 Oktober 2011

tari oleg

Oleg dapat berarti gerakan yang lemah gemulai, sedangkan tambulilingan berarti kumbang pengisap madu bunga. Tari Oleg Tambulilingan melukiskan gerak-gerik seekor kumbang, yang sedang bermain-main dan bermesra-mesraan dengan sekuntum bunga di sebuah taman. Tarian ini sangat indah.
Tari Oleg Tambulilingan, yang semula dinamakan Tambulilingan Mangisep Sari, merupakan ciptaan I Ketut Mario dari Tabanan pada tahun 1952 atas permintaan John Coast (dari Amerika).
Terpujilah I Mario. Tari Oleg Tambulilingan yang diraciknya pada tahun 1951 hingga kini senantiasa abadi. Remaja putra dan putri selalu bermimpi untuk bisa menarikannya dengan sempurna. Selain sebagai simbol romantisme laki-perempuan, gerak tari Oleg juga mengandung karakter keindahan yang khas Bali. Foto-foto Oleg selalu menghiasi majalah, iklan penerbangan, iklan bank, billboard pinggir jalan dan media lain yang ingin melukiskan khasnya keindahan Bali. Namun tidak banyak yang tahu awal mula koreografer I Mario menciptakan tari ini, apalagi mengetahui stil gerakannya yang asli. Untuk mengenal Mario, Disbudpar Tabanan menggelar Lomba Tari Oleg Tambulilingan dan Kebyar Terompong se-Bali, 25-27 Maret lalu, di Gedung Mario Tabanan.
————
I Mario lahir dengan nama I Ketut Maria. Hanya peneliti-peneliti dari Eropa dan AS — dengan lidah Barat, tentunya — menyebutnya dengan nama I Mario. Nama itu kemudian lebih populer dari nama sesungguhnya.
Nama I Mario abadi, karena nilai pemberontakannya yang kental terhadap gerak-gerak tari Bali. Ia dianggap pencipta karakter gerak yang khas, keras sekaligus romantis. Maka tidaklah salah, jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Tabanan punya niat baik menyelenggarakan Lomba Tari Oleg Tambulilingan dan Kebyar Terompong beberapa waktu lalu, untuk melestarikan sekaligus meneladani karakter kesenimanan koreografer tradisional asal Tabanan itu.
Niat baik Dsbudpar Tabanan ini dapat sambutan besar dari remaja putra dan putri di seluruh Bali. Dalam catatan panitia, ratusan remaja peserta mendaftarkan diri, namun panitia hanya menyediakan tempat bagi 40 pasang penari Oleg dan 16 penari Kebyar Terompong. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang lomba yang digelar tahun lalu yang hanya diikuti belasan peserta.
Kenapa generasi muda begitu antusias mengikuti lomba ini? Tentu banyak alasannya. Selain jumlah hadiahnya cukup spektakuler (total Rp 37 juta), mereka punya mental kompetitif tinggi untuk membuktikan dialah penari Oleg terbaik di Bali. “Tari Oleg itu lembut namun punya tingkat kesulitan tinggi, sehingga saya sangat ingin jadi yang terbaik dari seluruh penari Oleg di Bali,” begitu pengakuan Wiwik, seorang peserta yang datang jauh-jauh dari Karangasem.
Niat lebih luhur dari Disbudpar yang patut dihargai adalah keinginannya mempertahankan stil koreografi I Mario yang memang khas. Masalahnya, dalam perkembangan tari Oleg dan Kebyar Terompong belakangan ini terdapat semacam rasa waswas bahwa “Oleg yang asli Mario” bakal punah digerus gelombang kreativitas yang tak tentu arah. Kecemasan itu datang dari salah seorang murid I Mario, I Gusti Agung Ngurah Supartha, yang saat lomba juga bertindak sebagai juri.
Mantan Kepala Taman Budaya Denpasar ini menuturkan, dalam perkembangan tari Oleg dan Kebyar Terompong memang terdapat perubahan-perubahan gerak yang baik. Namun jika diamati dengan cermat, perubahan itu lebih banyak buruknya. Misalnya banyak terjadi penyederhanaan. Satu contoh dalam gerak tulak angsul. Menurutnya, dalam gerak ngrangrang menjadi ngelung kiri dan pacak gulu terdapat unsur gerak tulak angsul. Jika dihitung, kata Supartha, dalam rangkaian ini sesungguhnya terdapat enam gerakan, namun biasa disederhanakan menjadi dua gerak, yakni gerakan tangan tulak dan angsul saja. “Padahal di sana terdapat juga unsur ngeleog, ngelier dan sebagainya,” ujarnya.
Dari properti, katanya, kini penari laki-laki Oleg dan Kebyar Terompong banyak menggunakan kancut yang pendek. Padahal Mario sengaja menciptakan kancut sepanjang 5 meter untuk menciptakan kesempurnaan keindahan tari. Dulu, kenangnya, seorang penari belajar hingga berbulan-bulan hanya untuk ngampigan kancut. Begitu pula dengan kipas. Kipas, dalam stil Mario, biasa diputar dengan kesempurnaan gerak jari yang rumit. “Namun kini kipas biasa hanya gejer-gejer saja,” ungkapnya.
Pengenalan stil Mario, menurut konsultan seni budaya di KBRI Washinton DC ini, bukan untuk memasung kreativitas. Tetapi justru sebagai pemicu kreativitas dengan memperkenalkan kepada generasi muda bentuk-bentuk pemberontakan koreografi yang dilakukan Mario pada masanya. Dalam Oleg Tambulilingan, katanya, bisa dilihat simbol-simbol pemberontakan gerak yang dilakukan Mario dalam seni tari Bali.
Seorang pengamat seni muda Tabanan, Putu Arista Dewi, mengakui stil asli Mario memang seharusnya dikenal secara cermat. Banyak puncak pencapaian gerak dari Mario yang sulit ditandingi seniman masa kini. Misalnya dari segi properti; kipas, panggul terompong, kancut dan sebagainya, dalam gerak tari ciptaan Mario bukan hanya berfungsi sebagai alat semata. Namun properti itu menyatu, saling mendukung dengan gerak tubuh si penari. Makanya, pemilik Sanggar Tari Taman Budaya ini menilai lomba yang digelar Disbudpar bisa dijadikan salah satu pemicu pengenalan stil Mario kepada generasi muda. Meski begitu, Arista berharap pihak Disbudpar atau siapa pun yang bertanggung jawab terhadap seni-budaya di Bali agar menggelar pembinaan secara terus-menerus. Tak cukup hanya dengan lomba, juga memberikan workshop kepada pembina-pembina sanggar di Bali.
Harapan serupa diungkapkan Ayu Trisna Dewi Prihatini. Pemilik Sanggar Tari Ayu ini berharap stil Mario ini dilestarikan agar tak keburu punah dan tak terlacak asal-usulnya. Caranya, seperti kata Arista, Ayu menyarankan workshop terus-menerus dilakukan, tiap bulan, bahkan tiap minggu. Harapan ini mendapat dukungan dari dosen karawitan STSI asal Tunjuk, Tabanan, I Made Arnawa, SSKar. Menurutnya, lomba ini amat baik untuk membuktikan sejauh mana ciptaan Mario ini telah direvisi dan diaplikasikan lagi oleh koreografer penerusnya. Dari sini, katanya, bisa dikenalkan kembali stil-stil gerak Mario yang sesungguhnya. Dan, ini menjadi tantangan tersendiri bagi penanggung jawab kesenian di Bali. Caranya, bukan hanya menggelar lomba, juga menggelar workshop secara rutin. “Dengan cara itu, kisah unik terciptanya tari Oleg sekaligus semangat berkesenian Mario juga bisa dikenal secara luas,” ujarnya.
Dari ”Sleeping Beauty”
Kisah terciptanya tari Oleg Tambulilingan memang berbelit sekaligus unik. Dalam orasi ilmiah yang disampaikan saat pembukaan lomba, Senin (25/3) lalu, Rektor ISI Yogyakarta Prof. Dr. I Made Bandem menceritakan, pada tahun 1950 datanglah seorang impresario Inggris Jhon Coast. Mantan staf Kedutaan Inggris di Jakarta ini bersama istrinya menetap di Kaliungu, Denpasar, selama dua tahun. Untuk mewujudkan suatu diplomasi kebudayaan, ia berhasrat membawa sebuah misi kesenian besar ke Eropa dan AS. Ia pun menghadap Presiden Soekarno, dan niatnya itu disetujui.
Jhon Coast menyiapkan misi keseniannya dari Bali. Dari buku-buku laporan peneliti asing yang menetap di Bali pada tahun 1920-an dan 1930-an, Coast akhirnya mengetahui tentang penari terkenal I Mario dan muridnya I Sampih dari Peliatan, Ubud. Coast bersahabat baik dengan pemain kendang dan Ketua Sekaa Gong Peliatan Anak Agung Gde Mandera, sehingga melalui Mandera, I Mario akhirnya bisa ditemukannya. Mandera mengutus I Sampih mencari I Mario ke Banjar Lebah, Tabanan. Awalnya I Mario menolak bergabung kembali ke Sekaa Gong Peliatan karena merasa tua dan sakit-sakitan. Saat itu umur Mario diperkirakan lebih dari 50 tahun. Namun, atas desakan bertubi-tubi dari I Sampih, penggemar sabungan ayam itu akhirnya mau ke Peliatan.
Pada April 1951, ketika Jhon Coast memiliki kepastian untuk membawa misi kesenian ke Eropa dan AS, ia meminta I Mario bersama Anak Agung Gde Mandera menciptakan tari baru untuk melengkapi repertori gong Peliatan yang saat itu hanya memiliki tari Janger dan Legong Keraton. Coast menawarkan I Mario menciptakan tari baru dengan menggunakan penari Legong Keraton, Ni Gusti Ayu Raka Rasmin, dan penari Kebyar Duduk, I Sampih. Maestro yang lahir di Belaluan, Denpasar, pada 1899 ini menyanggupinya, namun dalam waktu cukup lama ia merenung dan tak memiliki gagasan untuk menciptakan tari yang dimaksud Coast.
John Coast merangsang I Mario dengan memperlihatkan buku-buku tari klasik Ballet yang dilengkapi foto-foto tari duet Sleeping Beauty, kisah tentang percintaan Putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming. Imajinasi Mario pun bangkit. Dari foto-foto itu ia mendapat inspirasi untuk menciptakan tari Oleg Tambulilingan. Ia langsung mengajar I Sampih tabuh lagu-lagu sederhana agar bisa memulai latihan dengan Ni Gusti Ayu Raka Rasmin. Sesudah batang-tubuh tari terwujud secara kasar, giliran Sekaa Gong Peliatan diajarkan tabuh lagu. Lagu yang diajarkan sebuah lagu kebyar untuk tari laki-laki. Dari kisah itu akhirnya terciptalah tari duet yang hingga kini monumental.
Awalnya I Mario menyebut tari ciptaannya dengan nama Tumulilingan Mangisep Sari, namun dalam perkembangan berikutnya tari ini dikenal dengan sebutan Oleg Tambulilingan. Tari ini dipentaskan pertama kali akhir Juli 1951 di Peliatan, Ubud, ketika John Coast dan Sekaa Gong Peliatan menjamu sekitar 120 anggota Delegasi United Nations Organitation (PBB) usai mengadakan konferensi di Bali Hotel Denpasar. Di hadapan anggota delegasi itu I Mario juga memperlihatkan taksu-nya ketika mempertunjukkan tari Kebyar Terompong bersama I Sampih.
Dari uniknya kisah penciptaan Oleg ini, menurut Arista, bisa dilacak karakter kesenimanan Mario yang keras, kental dan kompromis. Ia mengambil inspirasi dari Barat (tari Ballet), juga mempertahankan gerak klasik Legong Keraton dan sedikit nuansa Janger. Dalam hal pemberontakan gerak, Mario bahkan telah dikenal sebelumnya ketika untuk pertama kali menciptakan tari kekebyaran yang gesit, agresif dan atraktif, sehingga banyak yang sepakat Mario itu seniman sejati. Ia memang seorang maestro.
I Gusti Ayu Raka, Penari Pertama Oleg Tamulilingan
Tari Oleg Tambulilingan hidup dalam “keabadian”.
Remaja Pulau Dewata senantiasa berangan-angan bisa menguasai tari “romantis” itu secara sempurna. Namun untuk dapat menari Oleg Tambulilingan secara paripurna, memang tidak mudah.
Oleg Tambulilingan adalah tari yang mengandalkan kelincahan olah tubuh diiringi instrumen gamelan hasil “racikan” (alm) I Ketut Maria, seniman asal Tabanan.
Koreografer yang lebih dikenal dengan panggilan Mario menjadikan Tamulilingan sebagai ikon yang amat kesohor hingga ke mancanegara.
Adalah I Gusti Ayu Raka (68), wanita yang beruntung didaulat I Ketut Maria menjadi penari perdana tari “romantisme” itu.
Lewat gemulai tubuh perempuan kelahiran Gianyar, 31 Desember 1939 itu, Oleg Tamulilingan menjadi termasyhur.
Ibu dari empat putra-putri yang masih enerjik pada usia senjanya itu memang mengabdikan hidupnya untuk menari.
“Bila tak menari, tubuh terasa kelu. Saya senang mewariskan Legong dan Oleg Tamulilingan kepada generasi penerus sebagai pengorbanan suci (nyadnya),” tutur istri (almarhum) Anak Agung Gede Djelantik itu.
Berkat kharisma, kepiawaian dan kelincahan yang dimilikinya, Ayu Raka terbang ke berbagai negara untuk menari Oleg Tamulilingan.
Sosok wanita yang masih “menyimpan” sisa-sisa wajah menawan itu, pertama kali melawat ke Paris, lantas ke Eropa dan Amerika Serikat pada 1953.
Ketika menginjak umur 12 tahun, Ayu Raka bergabung dengan Sekaha Gong Peliatan, perkampungan seniman Ubud.
Lawatan tim kesenian Indonesia tersebut meraih sukses yang luar biasa dan Ayu Raka cilik saat itu dielu-elukan sebagai penari bintang.
Seorang impresario asal Inggris, John Coast menobatkan Ayu Raka sebagai penari bintang, berkat penampilannya yang memukau saat menari Condong Legong, Garuda dan Oleg Tamulilingan.
Bahkan Ayu Raka menjadi cover buku “Dancing Out of Bali” karya John Coast.
Ayu Raka juga pernah mengadakan lawatan ke China (1959), Pakistan (1964), Jepang (1968), Australia (1971), Eropa (1973), Amerika (1982) dan Singapura (1996).
Ayu Raka, putri sulung dari lima bersaudara pasangan I Gusti Putu Pageh-Ni Gusti Putu Kompyang itu sejak usia dini sangat menyenangi tari Bali. Ia diasuh seniman andal Gusti Made Sengog, selain mendapat motivasi kuat dari kedua orang tuanya.
Wanita itu kerap memperkuat tim kesenian Bali melanglang buana. Sampai kini Ayu Raka masih tetap aktif menularkan tari Legong dan Oleg Tambuliling kepada generasi penerus.
“Usia boleh senja, tapi semangat tidak boleh sirna,” ujarnya.
Tidak terhitung entah berapa ribu seniman terlahir dari hasil binaannya, termasuk seniman andal yang terhimpun dalam sanggar Cudo Mani Ubud, yang secara periodik mempunyai jadual manggung di luar negeri.
Pengalaman Berat
Ayu Raka tidak serta merta menjadi bintang. Untuk menjadi maestro Oleg Tamulilingan ia harus menempuh “laku” berat.
Pada jamannya, untuk mendapatkan “agem” yang kuat tubuh harus tengkurap di lantai, kemudian diinjak-indak dan di bawah kedua ketiak diikat stagen.
“Untuk melatihan gerakan `ngelayak`, ia harus bersandar di atas meja atau tembok,” katanya. Tubuh betul-betul terasa sakit setelah seharian latihan.
Selama belajar tari Oleg dari I Ketut Maria, Ayu Raka digembleng dengan berbagai gerakan sulit. Mario, menurut Ayu Raka sering berlaku galak, jika murid-murid binaannya melakukan “agem dan tanjek” yang tidak benar serta kurang senyum.
Kisah terciptanya Tari Oleg Tambulilingan memang unik dan berbelit-belit. Menurut gurubesar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Made Bandem, pada tahun 1950 datanglah seorang impresario Inggris, Jhon Coast. Mantan Staf Kedutaan Inggris di Jakarta bersama istrinya menetap di Kaliungu, Denpasar, selama dua tahun.
Untuk mewujudkan suatu diplomasi kebudayaan, ia berhasrat membawa sebuah misi kesenian besar ke Eropa dan AS. Ia pun menghadap Presiden Soekarno waktu itu, untuk menyampaikan niatnya yang akhirnya mendapat restu.
John Coast menyiapkan misi keseniannya di Pulau Dewata. Buku-buku laporan peneliti asing yang menetap di Bali pada tahun 1920-1930-an dipelajarinya dan akhirnya mengetahui tentang penari terkenal I Mario dan muridnya I Sampih dari Peliatan Ubud.
Coast bersahabat baik dengan pemain kendang dan Ketua Sekeha Gong Peliatan Anak Agung Gde Mandera, sehingga melalui Mandera, I Mario akhirnya bisa ditemukannya.
Mandera mengutus I Sampih mencari I Mario ke Banjar Lebah Tabanan. Awalnya I Mario menolak bergabung kembali ke Sekeha Gong Peliatan karena merasa tua dan sakit-sakitan. Saat itu umur Mario diperkirakan lebih dari 50 tahun.
Namun, atas desakan dan pendekatan I Sampih, penggemar sabung ayam itu akhirnya mau ke Peliatan. Pada April 1951, ketika John Coast akan membawa misi kesenian ke Eropa dan AS, ia meminta I Mario bersama Anak Agung Gde Mandera menciptakan tari baru untuk melengkapi repertori Gong Peliatan yang saat itu hanya memiliki Tari Janger dan Legong Keraton.
Coast menawarkan I Mario menciptakan tari baru dengan menggunakan penari Legong Keraton, Ni Gusti Ayu Raka Rasmi dan penari Kebyar Duduk, I Sampih.
Maestro yang lahir di Belaluan Denpasar pada 1899 ini menyanggupinya, namun setelah lama ia merenung dan ia tak memiliki gagasan untuk menciptakan tari yang dimaksud Coast.
John Coast merangsang I Mario dengan memperlihatkan buku-buku Tari Klasik Ballet yang dilengkapi foto-foto tari “Sleeping Beauty”, kisah tentang percintaan Putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming.
Imajinasi Mario pun bangkit. Dari foto-foto itu ia mendapat inspirasi untuk menciptakan tari Oleg Tamulilingan. Ia langsung mengajar I Sampih tabuh lagu-lagu sederhana agar bisa memulai latihan dengan Ni Gusti Ayu Raka Rasmi.
Sesudah batang-tubuh tari terwujud secara kasar, giliran sekeha Gong Peliatan diajarkan tabuh lagu kebyar untuk mengiringi tari peran laki-laki.
Dari kisah itu akhirnya terciptakan tari duet yang monumental, meskipun awalnya I Mario menyebut dengan nama Tumulilingan Mangisep Sari, namun akhirnya lebih populer dengan tari Oleg Tambulilingan.